Selasa, 08 Juni 2010

belajar membuat fitur :)

Eksotisme Sam Poo Kong

Keberadaan Masjid dalam Klenteng, Adakah ?

oleh : Arisa Nur Aini

Saat melintas di daerah Simongan Semarang, saya menjumpai bangunan yang arsitekturnya begitu khas, Klenteng Sam Poo Kong. Gerbang besi warna kuning berhiaskan ukiran naga di atasnya siap menyambut siapa saja yang ingin menengok lebih dalam bangunan tersebut. Sejak kecil, saya sering sekali melewati bangunan tersebut. Tetapi baru sekali ini saya bersentuhan langsung dengan salah satu tempat ibadah penganut Tri Dharma.

Dulu klenteng Sam Poo Kong tidak semegah sekarang. Waktu itu tidak ada tembok tinggi yang mengitari klenteng. Warna merah yang dominan pada genting, tembok serta pilar-pilarnya juga belum terlalu menonjol. Kemudian pada tahun 2002 mengalami perombakan dan perubahan bentuk. Ibu saya bahkan pernah bertutur kalau dulunya klenteng ini adalah sebuah masjid. Cerita tersebut sempat membuat kening saya berkerut. Apa cerita perombakan masjid menjadi klenteng itu benar adanya?

Pada suatu sore yang cerah, saya putuskan untuk mengunjungi klenteng Sam Poo Kong. Sekedar melampiaskan rasa penasaran saya pada tempat yang dulu pernah disinggahi Laksamana Cheng Ho dan berharap mungkin saya bisa mendapatkan jawaban yang pasti tentang keberadaan masjid yang pernah diceritakan ibu saya. Ketika masuk, suasana China begitu kental terasa dengan unsur warna merah yang dominan, kuning, hijau dan emas. Ada beberapa bangunan di dalam kompleks ini: tiga kuil megah, satu pendopo tempat orang menjual dupa dan souvenir khas Sam Poo Kong, satu pendopo lagi bagi yang ingin berfoto sembari mengenakan kostum China, serta beberapa patung yang berderet di depan tiga kuil utama.

Nama klenteng atau kuil Sam Poo Kong ini diambil dari nama Laksamana Sam Poo Tay Djien atau dikenal dengan nama lain Zheng He (Cheng Ho), seorang taykam Kaisar Cheng Zu (dari Dinasti Ming) penganut agama Islam yang diutus untuk mencari mustika di daerah utara. Armada Cheng Ho adalah armada Cina pertama yang mendarat di Semarang pada tahun 1401 AD.

Bangunan dalam klenteng

Deretan patung di halaman klenteng

Menurut sejarah, abad ke-15 terbentuk sebuah koloni dari komunitas muslim Tionghoa dan pribumi di muara Kaligarang. Saat itu garis pantai Semarang masih terletak di kaki perbukitan Simongan dan pantai Semarang merupakan pelabuhan penting yang banyak disinggahi para pedagang asing yang berasal dari Melayu, Cina dan Belanda.

Laksamana Cheng Ho memang sempat singgah di beberapa tempat di nusantara, termasuk di daerah Semarang. Saat berlayar dekat Semarang, seorang anak buah kapalnya sakit keras. Maka, ia segera memerintahkan agar kapal merapat dan mencari pengobatan bagi sang anak buah. Cheng Ho kemudian beristirahat di dalam sebuah gua yang kini menjadi bangunan inti klenteng ini.

Setelah Cheng Ho kembali melanjutkan perjalanan, gua peninggalannya tertimbun tanah longsor pada tahun 1704 dan sebagai penghormatan masyarakat setempat menggali gua baru serta membangun altar yang dilengkapi dengan patung Cheng Ho dan pengawalnya. Saat ini gua tersebut digunakan sebagai tempat meramal nasib yaitu dengan menggunakan tongkat-tongkat kecil yang dilemparkan ke lantai.

Patung Laksamana Cheng Ho

Sepeninggal Cheng Ho, daerah Simongan mulai ramai ditempati oleh pendatang Cina yang merantau ke Semarang dan lambat laun berkembang menjadi perkampungan. Dalam perkembangannya kawasan Simongan tumbuh menjadi perkampungan Cina pertama di Semarang dan menjadi ramai dengan penduduk yang berprofesi sebagai petani dan pedagang. Sayangnya pemberontakan pada tahun 1742 yang dilakukan oleh orang pribumi menyebabkan orang-orang Cina yang berada dikawasan Gedung Batu dipindahkan ke Pecinan (sekarang menjadi kawasan Gang Baru). Peristiwa pemindahan tersebut membuat tradisi yang ada di kelenteng Pecinan sama dengan tradisi yang ada di klenteng Gedung Batu atau dikenal dengan nama lain Klenteng Sam Poo Tay Djien atau Klenteng Sam Poo Kong.

Setelah berkeliling kompleks kuil, saya menemukan sesuatu yang unik. Sebuah bedug besar terpampang layaknya bedug yang berada di masjid-masjid. Sangat kontras dengan deretan lilin besar yang berderet di depannya. Informasi yang saya dapat menyebutkan bedug tersebut merupakan sebuah penghormatan terhadap mendiang Laksamana Cheng Ho yang beragama muslim.

Sayang sekali tidak ada data yang pasti tentang keberadaan masjid di dalam klenteng. Meskipun beberapa fakta bisa merujuk pada pembenaran hal tersebut seperti identitas Cheng Ho yang seorang muslim. Sering sekali dia mendirikan masjid pada tempat-tampat yang dikunjungi, layaknya Masjid Cheng Ho yang berada di Surabaya. Serta bedug yang masih berada di dalam kompleks bangunan mungkin salah satu benda yang tersisa dari masjid.

Hari mulai gelap. Suasana malam di dalam klenteng justru semakin indah dihiasi dengan lampu-lampu dan lampion. Meskipun tidak ada bukti yang saya dapatkan, tapi Klenteng Sam Poo Kong ini tetap memberikan kesan dan pengalaman yang berbeda bagi saya. Selain memiliki nilai sejarah, bangunan tersebut juga mengisyaratkan adanya keragaman budaya di Indonesia. Menunjukkan toleransi yang tinggi di antara umat beragama. Bukan hal yang perlu disesali jika dulunya klenteng tersebut memang merupakan sebuah masjid yang dirombak. Justru kerukunan dan persatuan antar umat beragama tetap harus dipertahankan.